Ekonom Faisal Basri menilai PT Pertamina merupakan salah satu contoh BUMN memble dan kacangan. Alasannya, ini merupakan BUMN terbesar dan diandalkan, namun tidak menunjukkan kinerja yang wajar.
"Orang selalu terkesima dengan ukuran perusahaan dan jumlah laba yang disetorkan kepada negara," ujar Faisal dalam bukunya Lanskap Ekonomi Indonesia yang diluncurkan Rabu di Jakarta, Jumat, 9 Oktober 2009.
Di halaman 380, Faisal menilai sektor yang dikelola Pertamina adalah sangat penting, teknologinya serba rumit, dan gaji eksekutifnya gede-gede. "Tapi, siapa sangka jika Pertamina menjadi perusahaan kacangan."
Menurut dia, Pertamina dengan segala kemegahannya tidak mampu menunjukkan kinerja yang wajar, apalagi memuaskan.
Faisal membeberkan contoh dalam hal efisiensi produksi minyak atau gas Pertamina dibandingkan dengan perusahaan migas lain, terutama asing yang beroperasi di Indonesia.
Baik dalam produksi migas selama periode 2004-2006, rata-rata Pertamina membebankan cost recovery termahal, yakni US$ 27,4 per barel minyak. Jika harga di pasar dunia US$ 100 per barel, mungkin tidak efisiennya produksi Pertamina tidak terasa.
Tapi, dia bertanya bagaimana jika harga internasional cuma US$ 40 per barel. "Masak iya, 70 persen pendapatan minyak habis begitu saja untuk membayar biaya produksi Pertamina?"
Mahalnya cost recovery Pertamina ini, kata dia, jelas keterlaluan karena biaya tertinggi kedua hanya US$ 18 per barel, bahkan ada yang bisa memproduksi dengan biaya hanya US$ 9,66 per barel.
Ini tak jauh berbeda dengan biaya produksi per kaki kubik gas, Pertamina membebankan cost recovery US$ 3,3. Kontraktor lain hanya sebesar US$ 1,3-2,75 per kaki kubik gas. "Jadi, biaya Pertamina lagi-lagi paling mahal."
Dia mengingatkan secara agregat, Pertamina menyumbangkan 11,8 persen minyak mentah Indonesia, namun menghabiskan 21,9 persen biaya produksi yang ditanggung negara. Untuk gas, Pertamina menyumbang 15 persen produksi, namun menelan 23,7 persen dari total biaya produksi gas nasional.
Yang lebih keterlaluan, menurut ekonom UI ini, cost recovery yang dituntut Pertamina bahkan melonjak tajam pada 2007. Buktinya, Chevron yang setiap hari memproduksi 450 ribu barel minyak mentah, hanya minta pengembalian (cost recovery) US$ 1,1 miliar per hari. Itu setara dengan US$ 6,8 per barel.
Sedangkan, Pertamina yang setiap harinya memproduksi 146 ribu barel per hari meminta pengembalian US$ 1,9 miliar. Itu berarti Pertamina membebani negara dengan cost recovery US$ 36,1 per barel. "Itu 5,3 kali lipat lebih mahal ketimbang Chevron."
Kalau sudah begini, dia bertanya apa semua produksi minyak diserahkan saja ke Chevron? Secara ekonomis itu diperlukan, namun Faisal mengingatkan itu justru akan memicu gelombang protes atas dominasi asing. Tapi, kalau Pertamina tetap beroperasi uang negara yang dikorbankan.
"Sungguh ironis, dalam kondisi demikian, Dirut Pertamina masih bisa bicara soal target mengalahkan Petronas Malaysia dan menjadikan Pertamina sebagai perusahaan energi multinasional."
0 Responses so far.
Posting Komentar