Perempuan itu sama sekali tidak berbeda dari perempuan lain. Ia hanya seorang anak bungsu dari keluarga yang sederhana. Sejak kecil, seringkali ia harus bekerja keras dan terkadang mendapat perlakuan tidak enak dari saudara-saudaranya. Pendidikannya pun tidak terlalu tinggi. Meski sempat mengecap bangku SMA, tapi ia tidak sampai menamatkannya.
Seorang laki-laki baik melamarnya ketika usianya 22 tahun. Ia pun setuju ketika harus pindah dan meninggalkan kota kelahirannya mengikuti suami yang bekerja di kota lain. Perjalanan waktu mengajarkannya untuk bisa menjalankan peran sosial dengan sangat baik. Jika di awal-awal pernikahan ia sering menangis karena jauh dari keluarganya, pada tahun-tahun berikutnya ia sudah terampil merawat rumah, berbelanja ke pasar, mengasuh anak, dan lain sebagainya.
Meski ia cuma seorang istri dan ibu rumah tangga, tapi perempuan ini bisa menjalankan perannya dengan sempurna. Semua kebutuhan suami selalu ia penuhi. Ia seorang istri yang serba bisa. Suaminya tak pernah pergi ke tukang cukur, karena dialah yang selalu menggunting rambut suaminya. Selalu ada makanan cemilan di rumah, karena ia pintar membuat kue. Ia pandai mengirit uang belanja dan seringkali ia menggunakan keterampilannya menjahit untuk membuat gorden, sarung bantal, seprei dari hasil jahitannya. Semua anak-anaknya pun pernah merasakan pakaian yang dijahit oleh tangannya.
Perempuan itu melahirkan lima orang anak dari rahimnya. Buah hati yang selalu membuatnya bersemangat melakukan semua kegiatan rumah tangga dengan penuh rasa cinta. Mulai dari bangun pagi, mempersiapkan sarapan, mencuci, menyeterika, dan membereskan rumah. Semua dikerjakan sendiri karena kondisi hidup yang pas-pasan. Ketika usianya 30 tahun, saat ketiga anak laki-lakinya masih kecil, suaminya mengajaknya untuk bertemu lebih dekat dengan sang Khaliq, menuju Baitullah Makkah. Sepulang dari haji, pakaian muslimah membalut tubuhnya. Perempuan itu semakin matang menapaki kehidupan.
Semakin tahun, kondisi ekonomi keluarganya semakin membaik. Perempuan itu punya kebiasaan baru. Ia rajin sekali bersedekah. Menjelang bulan Ramadhan, ia akan memborong sarung, membeli bahan kain berpuluh-puluh meter. Semuanya ia jahit dengan tangan dibantu mesin jahit tuanya. Ia mulai menjahit kain itu menjadi mukena. Setelah semua selesai, ia akan mendatangi rumah kerabat, tetangga, dan saudara untuk membagikan mukena hasil jahitannya. “Biarlah mereka memakai mukena buatanku, mudah-mudahan menjadi pahala…”
Uang belanja yang berlebih selalu ia simpan rapi. Jika ada kesempatan, ia akan membeli barang-barang dalam jumlah banyak. Mulai dari sarung, bahan baju, mangkok, gelas, sapu, baskom, seprei, dan lain-lain. Semua ia kumpulkan dengan baik. Tapi barang-barang itu tidak pernah bertahan lama di rumah. Setiap kali ada saudara berkunjung, tetangga datang, sahabat bersilaturahmi, mereka tak pernah pulang dengan tangan kosong. Selalu saja ada yang disedekahkan perempuan itu. Bahkan jika tidak ada sesuatu yang bisa diberi, ia akan menguras dapurnya. Ada-ada saja yang ia beri. Kerupuk, jeruk nipis, pisang, ubi, kelapa atau apa saja yang saat itu ada di rumah.
Setiap kali ia membuat kue atau memasak sesuatu, ia akan menyuruh anaknya untuk mengantar semangkuk makanan ke rumah tetangganya. Bahkan jika ada orang yang memberinya sesuatu, ia seringkali memberikannya untuk orang lain tanpa sempat ia sisakan untuk keluarganya.
Jika tiba saat pulang kampung, ia menjadi perempuan yang paling sibuk. Ia akan berbelanja segala macam sayuran seperti buncis, cabe, atau wortel, buah-buahan seperti apel, jeruk, dan salak. Tak lupa juga ia sempatkan membuat rendang (ia paling jago membuat makanan yang satu ini). Semuanya ia bagikan kepada keluarga di kampung, baik keluarganya maupun keluarga suaminya. Bahkan tak jarang beberapa lembar uang ia selipkan untuk kerabatnya.
Ia begitu rajin bersilaturahim, baik terhadap keluarga, tetangga, atau sahabatnya. Percayalah, setiap kali berkunjung, selalu saja ada yang dibawanya. Entah itu gulai ikan, kue, kelapa, pisang, atau cuma sebungkus kerupuk. Tangannya tak pernah kosong dan selalu memberi.
Di sisi lain, ia selalu mempertahankan ibadahnya. Ia hampir tak pernah meninggalkan shalat dhuha dan tahajud setiap harinya. Terkadang jika hatinya sedang tidak enak, ia bisa begitu lama duduk di atas sajadahnya sambil menangis. Mulutnya pun tak pernah berhenti berdzikir. Dalam tasnya selalu ada tasbih, yang selalu ia pegang ketika berdzikir dalam perjalanan. Ia selalu salat berjamaah bersama suaminya. Seringkali ia rela menunggu suaminya pulang kantor karena hanya ingin mendapat pahala berjamaah. Selesai salat berjamaah, ia bergegas menyiapkan makanan untuk suaminya.
Perempuan ini juga begitu rajin mengunjungi orang sakit. Setiap kali mendengar ada orang yang sakit, ia akan bergegas mengunjunginya, bahkan mengunjungi orang yang sama berkali-kali. Satu yang khas dari dirinya, selalu saja ada yang dibawanya ketika mengunjungi orang lain. Kadang ia mengaji di samping orang yang sakit dan menangis.
Sudah beberapa tahun ini, perempuan itu jarang sekali membeli baju baru, atau perhiasan baru. Semua uangnya disisihkan untuk bersedekah atau menambah uang jajan bagi anaknya. Ia begitu sederhana dan apa adanya.
Perempuan itu selalu membuat saya menangis bila mengingat kebaikannya. Sungguh, saya begitu mencintainya. Perempuan itu adalah ibu saya, seseorang dengan hati seluas samudera
0 Responses so far.
Posting Komentar